Pukul 8 malam, mereka berangkat dari rumah masing-masing kemudian berkumpul di belakang pekarangan rumah Bapak yang mereka temui pagi tadi. Di perkebunan kosong di balik tembok tinggi yang membatasi sepanjang pekarangan itu, mereka mendiskusikan kembali apa yang telah direncanakan siang harinya.
"Oke, gue tunggu di sini. Kalau ada apa-apa atau nemuin sesuatu cepet kasih tau gue lewat chat atau telfon" Tio menyimpulkan, walaupun tampak ragu dengan tugas yang diterimanya setelah melirik sekeliling tempat mereka duduk, di sekitarnya hanya ada tanah kosong yang gelap, ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan
Haris dan Agung kemudian memanjat pagar dinding itu dengan tangga lipat yang digendong Haris dari tadi. Mereka pun bergegas mencari petunjuk tanpa peduli entah apa bahaya apa yang menanti mereka di sana.
Hanya bermodalkan flashlight dari smarphone masing-masing, mereka berjalan dengan hati-hati menuju pekarangan Sang Bapak. Beruntungnya dinding di belakang pekarangan rumah itu tak terlalu jauh dari kebun Sang Bapak, mereka langsung sampai di kebun kurang dari 10 menit.
"Kenapa kita harus menyelinap begini ?" Bisik Haris mulai menyadari kekeliruan dari tindakan mereka itu.
"Kalau begitu kita kembali dan cobalah bujuk si Bapak buat ngasih tau semua yang dia tau besok, mumpung kita belum masuk terlalu jauh." Agung berhenti, bagitupun Haris.
"Itu sulit" Balas Haris kembali berjalan.
Mereka sudah memasuki area kebun, tempat yang penuh ditanami beragam bunga. Namun karena gelap, mereka tak bisa melihat semuanya kecuali hanya yang mereka sorot menggunakan smartphone. Sejauh penelusuran hanya terlihat warna-warni ragam bunga di sana yang hampir semua bunganya memiliki warna merah walau hanya sekadar bercak, bahkan hingga ke daun.
"Bau anyir ga sih, Ris ?"
"Iya"
Mereka saling berbisik, berusaha agar tak membuat kegaduhan sekecil apapun. Mencoba selalu waspada, memperhatikan sekeliling, selalu berjalan berdekatan agar tak terpisah. Saat mereka fokus mengendus-endus karena bau yang kurang sedap di sana, tiba-tiba Agung berhenti lagi.
"Ris, ini darah ?" Agung menyorot bunga-bunga yang mereka lewati di sisi kanan mereka, memberitahukan kepada Haris ada yang tidak normal dengan kebun itu, dan memastikan dia tak salah lihat karena di sana sangat gelap.
Haris hanya tercengang membenarkan apa yang dilihat Agung, mereka saling menatap cemas. Mereka kemudian mengarahkan cahaya ke sekeliling taman, hampir semua bunga dipenuhi bercak darah. Kecurigaan mereka berubah, Sang Bapak bukan hanya tahu sesuatu tentang kejadian yang menimpa abang Haris, tapi dia mungkin tahu segalanya.
Mereka kemudian menuju bangunan seperti gubuk di dekat kebun, bau anyir di sana lebih kuat. Pintu gudangnya tak dikunci dan sedikit terbuka, mereka pun masuk dengan hati-hati, celingak-celinguk melirik ke kiri, kanan, dan belakang. Haris masuk duluan disusul Agung di belakangnya. Terlihat seperti gudang pada umumnya, terdapat banyak perkakas di sana, kardus-kardus, bahkan dilengkapi pintu belakang. Tak ada yang aneh di dalam bangunan itu, hanya bau anyir yang menyengat.
"Ris" Agung menemukan sebuah gembor di atas meja kayu di dekat pintu masuk, gembor yang sama yang digunakan Sang Bapak ketika mereka melihatnya tadi pagi. Gembor itu dipenuhi bekas darah di sekelilingnya, bau anyir menyengat juga berasal dari sana. Hal yang mereka temukan menjadikan penelusuran mereka mencekam seketika, wajah mereka tegang, pucat, bahkan mereka sampai menelan ludah. Bagaimana tidak, di dalam gembor itu berisi darah hampir setengah dari kapasitasnya.
Mereka memperhatikan seisi gudang beberapa saat. Haris kemudian berkeliling di gudang dengan ukuran sekitar 8x8 itu. Hal mengerikan lain ia temukan di sana, kebanyakan perkakas-perkakas bermata di sana berlumuran bekas darah. Belum habis kengerian yang dirasakan Haris, pintu masuk gudang tiba-tiba terhempas bersamaan dengan hilangnya Agung.
"Oke, gue tunggu di sini. Kalau ada apa-apa atau nemuin sesuatu cepet kasih tau gue lewat chat atau telfon" Tio menyimpulkan, walaupun tampak ragu dengan tugas yang diterimanya setelah melirik sekeliling tempat mereka duduk, di sekitarnya hanya ada tanah kosong yang gelap, ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan
Haris dan Agung kemudian memanjat pagar dinding itu dengan tangga lipat yang digendong Haris dari tadi. Mereka pun bergegas mencari petunjuk tanpa peduli entah apa bahaya apa yang menanti mereka di sana.
Hanya bermodalkan flashlight dari smarphone masing-masing, mereka berjalan dengan hati-hati menuju pekarangan Sang Bapak. Beruntungnya dinding di belakang pekarangan rumah itu tak terlalu jauh dari kebun Sang Bapak, mereka langsung sampai di kebun kurang dari 10 menit.
"Kenapa kita harus menyelinap begini ?" Bisik Haris mulai menyadari kekeliruan dari tindakan mereka itu.
"Kalau begitu kita kembali dan cobalah bujuk si Bapak buat ngasih tau semua yang dia tau besok, mumpung kita belum masuk terlalu jauh." Agung berhenti, bagitupun Haris.
"Itu sulit" Balas Haris kembali berjalan.
Mereka sudah memasuki area kebun, tempat yang penuh ditanami beragam bunga. Namun karena gelap, mereka tak bisa melihat semuanya kecuali hanya yang mereka sorot menggunakan smartphone. Sejauh penelusuran hanya terlihat warna-warni ragam bunga di sana yang hampir semua bunganya memiliki warna merah walau hanya sekadar bercak, bahkan hingga ke daun.
"Bau anyir ga sih, Ris ?"
"Iya"
Mereka saling berbisik, berusaha agar tak membuat kegaduhan sekecil apapun. Mencoba selalu waspada, memperhatikan sekeliling, selalu berjalan berdekatan agar tak terpisah. Saat mereka fokus mengendus-endus karena bau yang kurang sedap di sana, tiba-tiba Agung berhenti lagi.
"Ris, ini darah ?" Agung menyorot bunga-bunga yang mereka lewati di sisi kanan mereka, memberitahukan kepada Haris ada yang tidak normal dengan kebun itu, dan memastikan dia tak salah lihat karena di sana sangat gelap.
Haris hanya tercengang membenarkan apa yang dilihat Agung, mereka saling menatap cemas. Mereka kemudian mengarahkan cahaya ke sekeliling taman, hampir semua bunga dipenuhi bercak darah. Kecurigaan mereka berubah, Sang Bapak bukan hanya tahu sesuatu tentang kejadian yang menimpa abang Haris, tapi dia mungkin tahu segalanya.
Mereka kemudian menuju bangunan seperti gubuk di dekat kebun, bau anyir di sana lebih kuat. Pintu gudangnya tak dikunci dan sedikit terbuka, mereka pun masuk dengan hati-hati, celingak-celinguk melirik ke kiri, kanan, dan belakang. Haris masuk duluan disusul Agung di belakangnya. Terlihat seperti gudang pada umumnya, terdapat banyak perkakas di sana, kardus-kardus, bahkan dilengkapi pintu belakang. Tak ada yang aneh di dalam bangunan itu, hanya bau anyir yang menyengat.
"Ris" Agung menemukan sebuah gembor di atas meja kayu di dekat pintu masuk, gembor yang sama yang digunakan Sang Bapak ketika mereka melihatnya tadi pagi. Gembor itu dipenuhi bekas darah di sekelilingnya, bau anyir menyengat juga berasal dari sana. Hal yang mereka temukan menjadikan penelusuran mereka mencekam seketika, wajah mereka tegang, pucat, bahkan mereka sampai menelan ludah. Bagaimana tidak, di dalam gembor itu berisi darah hampir setengah dari kapasitasnya.
Mereka memperhatikan seisi gudang beberapa saat. Haris kemudian berkeliling di gudang dengan ukuran sekitar 8x8 itu. Hal mengerikan lain ia temukan di sana, kebanyakan perkakas-perkakas bermata di sana berlumuran bekas darah. Belum habis kengerian yang dirasakan Haris, pintu masuk gudang tiba-tiba terhempas bersamaan dengan hilangnya Agung.
*****
Bersambung...
Lanjut ke part 3
Post a Comment