KEBUNKU #1 | JANGAN DEKATI KEBUN ANAKKU

Jogging minggu pagi kali ini terasa beda bagi Haris. Langkahnya berat, terlihat tak bersemangat seperti jogging-jogging yang biasanya dia lakukan. Sesekali dia hanya berjalan, menundukkan kepala dengan tatapan kosong. Bahkan dia tak sadar dua temannya tertinggal di belakang.

"Lihat kebunku ~ ..."

Lantunan lagu anak-anak tahun 2000-an itu terdengar dari sebuah rumah di pinggir jalan yang saat ini Haris lewati. Meskipun pekarangannya cukup luas, tapi karena jalanan ini bukan jalanan utama dan jarang dilalui, nyanyian itu bisa terdengar ke telinga Haris walau sangat pelan. Temponya juga lebih lambat dari yang seharusnya, tapi cukup merdu untuk suara seorang bapak-bapak 50-an yang sedang menyirami kebun. Haris menghentikan langkahnya, menepi di pinggir pagar rumah di mana suara itu berasal, kebetulan ada pepohonan dan bangku tempat beristirahat.

"... penuh dengan bunga ~"

Nyanyian itu hampir setiap pagi terdengar, sekitar pukul 8 atau 9, dari rumah yang sama, oleh suara yang sama. Haris tersenyum walau sedikit.

"Aku akan jadi seperti itu jika terus berlarut-larut dalam kesedihan." pikirnya memandangi sepatu yang dipakainya, sepatu pemberian abangnya yang tiga hari lalu menghilang tanpa kabar. Dia sangat mengagumi abangnya, dia senang ketika diberikan sepatu milik abangnya itu. Dia bahkan sangat gembira ketika dibelikan gelang yang persis seperti punya abangnya.

"Ada yang putih...~"

Haris tertunduk murung mengingat musibah serupa yang menimpanya dan Bapak yang sedang bernyanyi itu. Beliau kehilangan putri satu-satunya minggu lalu. Dari kesaksiannya, beliau menemukan putrinya terkapar tak berdaya di pinggir jalan menjelang minimarket yang tak jauh dari rumahnya. Beliau bilang khawatir dengan putrinya yang sudah terlalu lama tidak kembali dari minimarket, padahal hanya membeli cemilan dan peralatan kebun, harusnya tak begitu lama.

"...dan ada yang merah~"

Begitupun Haris, dua hari lalu dia kehilangan abang yang sangat dia kagumi. Sampai sekarang polisi masih belum menemukan pelaku dari musibah yang mereka alami itu. Bahkan abangnya, jasadnya pun tak ditemukan, begitu juga dengan 2 korban lainnya.

"Ris, ambilin minum dong." Canda sang abang yang sedang menuangkan air dari teko ke gelasnya sendiri.

Kilas balik ketika Haris makan nasi goreng bersama abangnya di sebuah kafe kecil itu membuatnya murung seketika. Kini keringatnya bahkan tak mengucur lagi, kulitnya nyaris kering, kecuali bajunya yang memang sudah basah oleh keringat dari tadi.

Haris juga teringat saat terakhir kali dia melihat sosok abangnya. Saat itu abangnya bilang hanya pergi sebentar untuk membeli peralatan kuliahnya. Namun, abangnya tak kunjung kembali walau sudah ditelpon berkali-kali, tak ada jawaban sampai satu keluarga ketiduran. Bahkan lelucon khas abangnya sebelum pergi pun masih teringat jelas di kepalanya, dari gestur, kata, sampai intonasinya.

"Ris, ambilin jaket abang di sofa dong." Haris yang sedang rebahan di depan TV segera bangun untuk mengambilkannya. Dia berjalan perlahan ke sofa, kemudian abangnya mengambil sendiri jaket yang dimaksud. Begitulah abangnya biasa mengolok-olok Haris dengan candaan ringannya.

"Setiap hari...~"

"...kusiram semua~"

WUSSSH TAKKK

Haris dikagetkan oleh bola kaki yang mengenai pepohonan di dekatnya, temannya menendang terlalu keras hingga bola itu terpantul masuk ke pekarangan rumah di belakang Haris, rumah Bapak yang menyanyikan lagu "Kebunku" tadi. Mereka kemudian berlari menyusul ke tempat Haris duduk.

"Jangan cepet-cepet jalannya, Riis" Tegur salah satu temannya, Agung. Orang yang sama yang menendang bola ke pohon di dekat Haris

Mereka kemudian ikut duduk di bangku yang sama.

"Ris, gua tahu lu sedang berduka, tapi kita di sini, bantu lu cari petunjuk, abang lu pasti ketemu, pelakunya juga" Tio mencoba menenangkan Haris tanpa terpikir entah apa yang bisa dilakukan 3 bocah yang baru saja menginjak kelas dua SMA.

Agung berdiri membalikkan badan untuk melihat dimana bola yang tadi dia tendang.

"WAA !!" Teriak Agung kaget oleh pemilik rumah yang baru saja sampai di balik pagar besi di belakang tempat mereka duduk. Pagar yang sebagian besar dinding tembok itu cukup tinggi, kira-kira dua setengah meter.

"Jangan dekati kebun anakku" Tegur Bapak itu menyodorkan bola kepada Agung. Wajah beliau datar tanpa ekspresi, tapi tatapannya sedikit tajam, cukup untuk membuat Agung merinding.

"M..Maaf, Pak" Jawab Agung terbata-bata diikuti Haris dan Tio setelah membalikkan badan mereka.

Sejak kehilangan putrinya beliau jadi sering mengurus kebun bunga milik putrinya itu. Setiap pagi beliau menyiramnya sambil menyanyikan lagu "Kebunku". Tak jarang juga beliau bicara sendiri menyebut-nyebut nama putrinya.

"Siapa nama kalian ?" Tanya beliau tiba-tiba ketika Agung menggapai bola yang diberikan Sang Bapak padanya.

Mereka pun menyebutkan nama masing-masing. Sang Bapak hanya diam memperhatikan mereka satu per satu seiring mereka menyebutkan nama panggilan mereka.

"Pak, Bapak tahu sesuatu tentang hilangnya orang-orang di kampung kita ?" Tanya Haris spontan, kedua temannya menatapnya heran. Sang Bapak pun sekarang melihatnya dengan kepala yang lebih terangkat dari sebelumnya.

"Maaf Pak, saya tahu putri Bapak juga salah satu korban, tapi saya -"

"Saya tidak tahu apa-apa" Sang Bapak menyela.

"Jangan dekati kebun anak saya, mengerti ?!" Lanjut beliau dengan nada yang lebih tegas.

Merasa tak enak dan tak nyaman jika terus berlama-lama di sana, mereka bergegas berjalan menjauh.

"Ris, ris" Tegur Agung pelan. Haris hanya mengangguk kecil dengan tatapan lurus ke depan, mengerti maksud dari bisikan Agung.

"Nekat lu ya, Ris" Sahut Tio tersenyum melirik Haris.

"Tapi gara-gara itu, kita tahu Si Bapak tahu sesuatu." Agung menyanggah perkataan Tio dengan pandangan tetap lurus ke depan, membuat Haris membatalkan niatnya untuk membalas ucapan Tio.

"Hah ?" Tio bingung.
*****
 
Bersambung... 
Lanjut ke part 2

Post a Comment

Previous Post Next Post